Minggu, 20 Desember 2015

I'M NOT THE MURDERER (PART 1)

New Orleans Psychiatric Hospital, 2015

Sebuah mobil Ford Fiesta berwarna hitam memasuki lapangan parkir luas Rumah Sakit Jiwa New Orleans. Setelah mobil itu terparkir rapi di salah satu sisi tempat parkir, seorang wanita berpakaian rapi membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Wanita itu berambut pirang sebahu, bermata biru, kulitnya putih bersih, wajahnya yang cantik dihiasi make up natural. Ia mengenakan kemeja putih bermotif garis dengan rok ketat berwarna krem yang jatuh di atas lututnya. Sepatu high heels yang berwarna senada dengan roknya tampak membuatnya lebih tinggi.

Ia mengambil jas putihnya yang terlipat rapi dan juga tas tangannya yang berwarna hitam. Tiba-tiba saja terdengar bunyi ponselnya yang berdering di dalam tasnya. Cepat-cepat ia membuka tasnya dan meraih ponsel yang telah meraung-raung itu. Klik, ia menekan tombol hijau di layar ponsel touch screen nya.
"Iya, halo?" sambut wanita itu. "Iya, saya sudah di tempat parkir" lanjutnya. "Baiklah, saya akan masuk kedalam" sambung wanita itu lagi, lalu memutuskan sambungan teleponnya.
Setelah mengunci pintu mobilnya, ia berjalan cepat menuju ke dalam gedung utama Rumah Sakit Jiwa New Orleans itu.

Wanita itu adalah salah satu lulusan terbaik sebuah universitas ternama di Amerika Serikat. Ia adalah serorang fresh graduate yang brilian dan memiliki masa depan cerah. Ia direkrut oleh Rumah Sakit Jiwa New Orleans itu untuk menjadi psikolog yang merangkap menjadi dokter jiwa disitu untuk menggantikan salah satu dokter lama yang dipindahtugaskan ke Detroit. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Seorang dokter menunggunya di lobby Rumah Sakit itu untuk menyambutnya dan memperkenalkannya pada sejumlah pasien yang akan ditangani olehnya.

Ia mendorong pintu kaca lobby hingga terbuka. Ia melihat seorang dokter wanita yang jelas-jelas sudah senior tengah duduk di salah satu kursi besi di dalam lobby itu. Ia menarik nafas panjang dan melangkah menghampiri dokter itu.

"Selamat pagi, Dokter Maria" sapanya dengan santun pada dokter itu.

Dokter yang bernama Maria itu menoleh padanya, lalu tersenyum dan berdiri dari kursinya. "Selamat pagi.
Apakah anda Victoria?" tanya dokter senior itu.

"Benar, Mrs. Saya Victoria" Wanita bernama Victoria itu tersenyum.

"Baiklah, Victoria. Selamat datang di Rumah Sakit Jiwa New Orleans. Silahkan duduk dulu, saya ingin berbicara banyak hal dengan anda" Dokter Maria menunjuk kursi di sebelahnya.

Victoria mengangguk pelan, lalu duduk di kursi di sebelah kanan Dokter Maria.

"Seperti yang sudah anda ketahui, disini anda akan menggantikan Dokter Joseph yang dipindahtugaskan ke Detroit. Di Rumah Sakit Jiwa ini, Dokter Joseph menangani beberapa pasien yang mendapat tekanan berat sehingga mengalami gangguan jiwa. Pasien-pasien disini mungkin butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan dokter baru yang akan menangani mereka. Jadi, saya harap anda maklum karena beberapa bulan pertama pasien akan sulit dikontrol. Tapi, lama kelamaan mereka akan terbiasa dengan anda sebagai dokter mereka dan menjadi penurut" jelas Dokter Maria panjang lebar.

"Bukan masalah besar, Dok. Saya yakin saya bisa mengatasinya" Victoria berkata dengan mantap.

"Ada hal lain, Victoria" sambung Dokter Maria dengan sedikit mengecilkan volume suaranya.

"Apa, Dok?" Victoria mengerutkan dahinya, bingung.

"Dokter Joseph menjadi asisten saya dalam menangani seorang pasien dengan gangguan kejiwaan yang dapat dikatakan parah. Ia telah tinggal disini selama kurang lebih 20 tahun. Saat ia berusia 16 tahun, ia mengalami gangguan kejiwaan karena tahu bahwa dia telah melakukan banyak pembunuhan. Jadi, anda akan menggantikan tugas Dokter Joseph dan menjadi asisten saya khusus untuk menangani pasien ini" Dokter Maria menjelaskan lagi.

"Tunggu, Dok. Tadi anda bilang dia mengalami gangguan kejiwaan karena tahu bahwa dia telah melakukan banyak pembunuhan? Apakah itu berarti dia melakukan pembunuhan secara tidak sadar?" Victoria mengajukan pertanyaan hasil luapan kebingungannya dan rasa penasarannya.

"Begitulah" Dokter Maria menghela nafas. "Saya akan mengajak anda untuk bertemu dengan pasien ini" lanjut Dokter Maria. Dokter Maria beranjak dari kursi tempat duduknya.

Didorong oleh rasa penasaran, peduli dan bingung yang begitu kuat, Victoria bangkit dari kursinya lalu mengikuti Dokter Maria masuk ke dalam sebuah lift. Dokter Maria menekan tombol bertuliskan angka 2 di samping pintu lift. Lift bergerak naik menuju ke lantai dua. Dokter Maria dan Victoria melangkah keluar dari lift setelah pintunya terbuka.

Lantai 2 begitu ramai oleh pasien-pasien, suster dan dokter yang memadati ruangan dan lorong-lorong disitu. Lorong yang sangat panjang itu dipenuhi oleh pintu-pintu kamar pasien di sisi kanan dan kirinya. Dindingnya di dominasi warna putih yang membosankan. Victoria mengedarkan pandangannya dan melihat pasien-pasien berpakaian putih yang tampak kusut. Ada yang tengah berlarian sambil tertawa-tawa, memeluk dan menciumi boneka bayi, berbicara pada dinding putih itu, bahkan ada yang mengumpulkan dedaunan lalu memamerkannya sambil berkata bahwa ia mendapat uang yang sangat banyak.

Victoria terus mengikuti langkah kaki Dokter Maria hingga tiba di ujung lorong. Di ujung lorong itu terdapat sebuah pintu besi yang tertutup rapat. Dokter Maria memutar tuas di pintu besi itu. Lalu, mendorong pintu besi itu hingga terbuka. Victoria bersiap untuk terkejut, namun yang dilihatnya hanyalah sebuah pintu kayu putih yang berjarak 1,5 meter dari pintu besi.

Dokter Maria menoleh ke belakang, melihat Victoria yang terdiam. "Sudah siap bertemu dengannya?" tanya Dokter Maria.

Victoria mengangguk mantap.

"Namanya Annelise Wilson. Berbicaralah dengannya tapi berhati-hatilah. Dia agak sensitif" Dokter Maria bersiap mengetuk pintu kayu itu.

Hening. Tidak ada jawaban.

Dokter Maria membuka pintu itu dengan pelan, lalu masuk ke dalamnya. Nampak Dokter Maria tersenyum pada seseorang di dalam sana.

Victoria masih mematung di depan pintu besi. Dokter Maria memandang ke arah Victoria, lalu memberikan isyarat untuk menyuruhnya masuk ke dalam ruangan. Victoria melemaskan otot-otot lengannya yang tegang, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

Ruangan itu dicat dengan warna putih. Bahkan semua barangnya berwarna putih. Sebuah ranjang single dari kayu berwarna putih terletak di salah satu sudut ruangan. Sepreinya, bantalnya, gulingnya dan selimutnya semua berwarna putih. Di samping ranjang itu terdapat sebuah meja dengan vas bunga berisi rangkaian bunga carnation berwarna putih. Selebihnya kosong. Hanya ada seorang wanita berusia 30-an sedang duduk di atas kursi tua yang menghadap ke arah jendela. Wanita berambut coklat panjang yang wajahnya tampak sedih. Wanita itu tersenyum pada Dokter Maria, lalu saat mengalihkan pandangannya pada Victoria yang baru masuk, wajahnya berubah takut dan tegang.

"Siapa kau? Mau apa kau disini?" tanyanya dengan sedikit berteriak. Ia menggenggam erat pakaian putihnya.

Dokter Maria mendekat padanya. Ia menggenggam tangan Annelise dan berusaha menenangkannya. "Tenang, Annelise. Ini adalah Dokter Victoria. Dia ini baik, kok. Dia tidak akan menyakitimu, Annelise. Dia akan menemanimu dan bermain denganmu".

Annelise menatap Victoria. Victoria mendekat dengan hati-hati. "Hai..." sapa Victoria dengan canggung, tapi ia tetap tersenyum.

Annalise terus menerus memandangi Victoria. Dokter Maria perlahan-lahan mundur dari tempatnya berdiri, meninggalkan Annelise dan Victoria supaya mereka bisa dekat.

"Kau Annelise Wilson, kan?" tanya Victoria dengan pelan.

Annelise mengangguk samar. Sebuah anggukan yang sangat pelan, nyaris tidak terlihat.

"Aku ingin bertanya sesuatu, maukah kau menjawabnya?" tanya Victoria lagi.

Annelise mengulangi anggukan itu.

"Apa yang terjadi padamu, Annelise? Apa yang terjadi pada hari itu?" tanya Victoria.

Annelise mulai ketakutan. Lalu ia menggelengkan kepalanya, enggan menjawab.

"Apa benar kau adalah pembunuh?" tanya Victoria lagi.

Dokter Maria di belakang hendak mencegah Victoria mengungkit masa lalu Annelise.

"BUKAN! BUKAN AKU! TENTU SAJA BUKAN AKU! AKU TIDAK AKAN MEMBUNUH TEMAN-TEMANKU! DIA YANG MELAKUKANNYA! DIA YANG MELAKUKANNYAAA!" Annalise berteriak histeris.

Victoria mundur dan mundur. Dokter Maria mendekat untuk menenangkan Annelise. Annelise malah semakin histeris dan dia mengobrak-abrik barang-barang di kamarnya. Annelise berteriak menyuruh mereka semua keluar dari kamarnya...
BERSAMBUNG

Sabtu, 19 Desember 2015

Telusuri Jejak

Hai! Di blog ini aku emang enggak mau nyebutin namaku, biar misterius gitu wkwkwk XD *dilempar panci*. Sebut saja Anonymous. Tapi mungkin dari foto profilku, ada yang tau who am I :v
Dear all of my readers, di blog ini aku mau nulis cerita-cerita misteri yang bersambung biar aku enggak gabut, suwung & bisa nyalurin hobiku wkwkwk. Hope all of you enjoy my stories!

P.S: I'm really sorry for all mistakes in my English. I'm not good at this language :'v